Karya
: Mella Yunati
Ah, aku terlalu resah menunggu
senja membasuh kami, membasuh setip lengkuk tubuh kami yang mungil yang rindu
akan bidadari pengantar mimpi.
Aku lupa saat pertama kita bertukar
sapa. Kuhitung. Sudah enam tahun kutinggalkan negeri pengasingan alam dan
berdiam di kota madani yang setiap waktunya dibalut tasbih dan alunan syahdu,
entah kini apa kabarnya? Samakah ia dengan enam tahun lalu saat kutinggali?
Lagi-lagi aku mengulang pertanyaan
yang sama setiap kurindu negeri ladang gabah yang megah akan akal dan budinya.
Tak ada yang lebih menyakitkan daripada kenangan. Ia, ini tampak jelas bagi
Yuyun yang merasakan itu saat senja menggores jingga di langit barat, taukah
kalian pertanda apakah itu?. Ia sedang sendirian, mengitung helaan nafas yang
tanpa akhirnya, belum berakhir, belum sampai disini, ia masih menunggu.
Ia bukan sesiapa yang memiliki
harta yang berlimpah, cantik pun ia tak punya, ia hanyalah gadis kota yang
dititipkan Tuhan untuk bertarung kata dan akal yang di aduk oleh alam atas
takdir Tuhan yang mengotak-atik seluruh isi kepalanya, sesekali ia hampir
fitam, sesekali ia menangis tanpa sebab dan tertawa tanpa pemicu, namun meledak
tanpa pelatuk.
Hampir kehabisan akal, ia ingin
dipasung bersama karung.
Sejak saat itu, aku tak lagi
melihatnya. Bayang-bayangnya pun tak lagi samar-samar.
***
Beberapa bulan sebelum kehadiranmu,
atau beberapa hari, aku tau tentang hal yang hendak kusampaikan pasca bertemu
denganmu, tapi sepertinya kau telah pandai menerka tentang apa yang akan ku
katakan. Apakah kamu jin? Lalu jin seperti apa? “tanyaku”. Sekian lama tidak
bertatap, kau begitu dekat bahkan hangatnya darahmu kurasakan, tetap saja aku
menantimu dibalik pagar putih ini.
Walau agak jauh perjalananmu menuju
aku yang berada di balik selawah paling ujung, Banda Aceh tepatnya. Namun
itulah perjalanan yang akan mengubah coretan sejarah kita berdua. Maukah kau ku
uji nyalimu?
Jika kelak kau akan tiba, mungkin
aku tak lagi menjadi si insan belia, barangkali keriput di wajahku telah menua,
masihkah kau mencintaiku? Dan kau akan melihat dunia yang berbeda pada kelopak
hitamku.
Apakah dalam perjalanmu menuju aku,
disisimu kau curi pandang pada si insan belia yang dulunya aku sama, ataukah
kau akan menutup kiri matamu dan menuju si gadis ataukah kau akan menutup kanan
matamu dan menuju dewasa ataukah kau
akan menutup kedua matamu dan membayangkan aku? Rasa tanya yang menggelora di
hatiku bercampur saat senyumku menjadi cuka.
Kini kau datang tanpa nama.
Mengetuk pintuku “assalmualaikum ”
dengan sekuntum bunga di kirimu. Pelan-pelan ku intip di balik tirai.
Sungguh aku terkagum dengan ketampananmu yang menyerupai tupai.
Kreeek… pintu pun kubuka, kujamu
kedatangannya, telah kusediakan minuman tanpa es kesukaannya, walau merah
membakar kerongkongannya.
Lama setelah kami mengobrol melepas
rindu, ia pun memberi sekelopak bunga yang tadinya ingin diberi namun tertunda
lantaran aku yang terus mengobrol tanpa memberi jeda. Pipiku merah,,,, ah
andaisaja aku putih, geujreeeeengggggg aku droup dengan kenyataan aku hitam.
Dan tak ada tanda-tanda pipiku akan merah, jika saja tadi ku bubuhkan blush on
di pipi mungkin akan merah, tapi tidak karena ini, aku tanpa topeng.
Kriiiiing,,,,, kriiing teleponnya
pun berbunyi, segera ia mengangkat telepon dari ibunya yang mengharuskan ia
segera pulang karena ada hal yang mendadak, raut wajanya pun berubah seketika,
layaknya tersambar petir, satu hal yang aku kagumi bahwa senyumnya pun tak
memudar sedikitpun untukku. Dia pun pulang setelah berpamitan dengan
orangtuaku.
Setelah mengantarnya dipeghujung
pagar, hatiku bercerita sesama sahabatnya, hingga kupingku terdengar, senyaring
inikah ia bersuara?.
“Entah harus bagaimana aku harus mencintaimu”
bagiku kau lebih seperti sahabat lama yang dulunya tak menyapa. Namun kau hadir
saat rantingku patah dan kau menyusunnya kembali hingga aku mampu mengeluarkan
tunas baru.
Kini aku percaya bahwa cinta hadir
seiring dengan waktu dan aku akan membiarkan alam mengajariku untuk mencintaimu
dari nol.
***
Antara sadar dan tidak sadar,
masa-masa itu kini aku rindukan, saat kita sama-sama tidak mengenal, tidak bertemu
dan kini menguntai cerita, dengan “bismillah”, aku terlahir untuk kedua
kalinya.
Untuk yang pertama aku terlahir
menjadi seorang anak, dan kini aku menjadi seorang istri, dan sebentar lagi aku
akan kembali hadir untuk yang ketiga kali, menjadi seorang ibu, betapa
bahagianya aku, memiliki kamu dan sebentar lagi memiliki seorang buah hati yang
lama sudah aku nantikan. Hari demi hari perlahan perutku membesar seperti bola
dan bahkan lebih besar dari bola, setiap waktu sentuhan kasih dan belaian cintamu
kurasakan.
Tinggal 10 hari lagi, kau dan aku
akan menjadi cerminan bagi dia yang akan ku lahirkan. Kelak ia akan menjadi aku
atau kamu, semuanya sama saja, kelak ia akan menyerupai siapa, semuanya tak ada
beda, sebab kau, aku dan kita adalah sama.
“Terimakasih untuk kamu yang mau
menempatkan aku di sisimu, terimakasih atas perjalan ini, aku bahagia telah
mengenalmu”.
***
Saat aku terjaga, aku sudah berada
diruang operasi, apa yang akan terjadi padaku? Dia yang tadinya menggenggam
erat tanganku, kini memelukku seraya berkata, “ jangan takut, aku disini
menemanimu, teruslah menyebut nama tuhanmu, “Allah, Allah” dan genggam tanganku
sambil mengecup keningku”
“weeeeeek,,,,,,,,weeeeek”
***
“tok,,to,,tok” berulangkali ku
dengar suara itu, yang tadinya ku dengar suara tagisan bayiku. “dek,,, dek,,
dekk” lagi-lagi suara itu yang kudengar. Ada apa gerangan?
“Dek,,,,, dekk” bangunnnn uda
subuh, sahut ibuku
Ah sialan ternyata hanya mimpi, mana bayiku?
Apa jenis kelaminnya? aku belum sempat melihatnya.