Tuesday, 19 May 2015

Wanita penunggu hari

Karya : Mella Yunati

Ah, aku terlalu resah menunggu senja membasuh kami, membasuh setip lengkuk tubuh kami yang mungil yang rindu akan bidadari pengantar mimpi.
Aku lupa saat pertama kita bertukar sapa. Kuhitung. Sudah enam tahun kutinggalkan negeri pengasingan alam dan berdiam di kota madani yang setiap waktunya dibalut tasbih dan alunan syahdu, entah kini apa kabarnya? Samakah ia dengan enam tahun lalu saat kutinggali?
Lagi-lagi aku mengulang pertanyaan yang sama setiap kurindu negeri ladang gabah yang megah akan akal dan budinya. Tak ada yang lebih menyakitkan daripada kenangan. Ia, ini tampak jelas bagi Yuyun yang merasakan itu saat senja menggores jingga di langit barat, taukah kalian pertanda apakah itu?. Ia sedang sendirian, mengitung helaan nafas yang tanpa akhirnya, belum berakhir, belum sampai disini, ia masih menunggu.
Ia bukan sesiapa yang memiliki harta yang berlimpah, cantik pun ia tak punya, ia hanyalah gadis kota yang dititipkan Tuhan untuk bertarung kata dan akal yang di aduk oleh alam atas takdir Tuhan yang mengotak-atik seluruh isi kepalanya, sesekali ia hampir fitam, sesekali ia menangis tanpa sebab dan tertawa tanpa pemicu, namun meledak tanpa pelatuk.
Hampir kehabisan akal, ia ingin dipasung  bersama karung.
Sejak saat itu, aku tak lagi melihatnya. Bayang-bayangnya pun tak lagi samar-samar.
            ***
Beberapa bulan sebelum kehadiranmu, atau beberapa hari, aku tau tentang hal yang hendak kusampaikan pasca bertemu denganmu, tapi sepertinya kau telah pandai menerka tentang apa yang akan ku katakan. Apakah kamu jin? Lalu jin seperti apa? “tanyaku”. Sekian lama tidak bertatap, kau begitu dekat bahkan hangatnya darahmu kurasakan, tetap saja aku menantimu dibalik pagar putih ini.
Walau agak jauh perjalananmu menuju aku yang berada di balik selawah paling ujung, Banda Aceh tepatnya. Namun itulah perjalanan yang akan mengubah coretan sejarah kita berdua. Maukah kau ku uji nyalimu?
Jika kelak kau akan tiba, mungkin aku tak lagi menjadi si insan belia, barangkali keriput di wajahku telah menua, masihkah kau mencintaiku? Dan kau akan melihat dunia yang berbeda pada kelopak hitamku.
Apakah dalam perjalanmu menuju aku, disisimu kau curi pandang pada si insan belia yang dulunya aku sama, ataukah kau akan menutup kiri matamu dan menuju si gadis ataukah kau akan menutup kanan matamu dan menuju  dewasa ataukah kau akan menutup kedua matamu dan membayangkan aku? Rasa tanya yang menggelora di hatiku bercampur saat senyumku menjadi cuka.
Kini kau datang tanpa nama. Mengetuk pintuku “assalmualaikum ”  dengan sekuntum bunga di kirimu. Pelan-pelan ku intip di balik tirai. Sungguh aku terkagum dengan ketampananmu yang menyerupai tupai.
Kreeek… pintu pun kubuka, kujamu kedatangannya, telah kusediakan minuman tanpa es kesukaannya, walau merah membakar kerongkongannya.
Lama setelah kami mengobrol melepas rindu, ia pun memberi sekelopak bunga yang tadinya ingin diberi namun tertunda lantaran aku yang terus mengobrol tanpa memberi jeda. Pipiku merah,,,, ah andaisaja aku putih, geujreeeeengggggg aku droup dengan kenyataan aku hitam. Dan tak ada tanda-tanda pipiku akan merah, jika saja tadi ku bubuhkan blush on di pipi mungkin akan merah, tapi tidak karena ini, aku tanpa topeng.
Kriiiiing,,,,, kriiing teleponnya pun berbunyi, segera ia mengangkat telepon dari ibunya yang mengharuskan ia segera pulang karena ada hal yang mendadak, raut wajanya pun berubah seketika, layaknya tersambar petir, satu hal yang aku kagumi bahwa senyumnya pun tak memudar sedikitpun untukku. Dia pun pulang setelah berpamitan dengan orangtuaku.
Setelah mengantarnya dipeghujung pagar, hatiku bercerita sesama sahabatnya, hingga kupingku terdengar, senyaring inikah ia bersuara?.
 “Entah harus bagaimana aku harus mencintaimu” bagiku kau lebih seperti sahabat lama yang dulunya tak menyapa. Namun kau hadir saat rantingku patah dan kau menyusunnya kembali hingga aku mampu mengeluarkan tunas baru.
Kini aku percaya bahwa cinta hadir seiring dengan waktu dan aku akan membiarkan alam mengajariku untuk mencintaimu dari nol.
***
Antara sadar dan tidak sadar, masa-masa itu kini aku rindukan, saat kita sama-sama tidak mengenal, tidak bertemu dan kini menguntai cerita, dengan “bismillah”, aku terlahir untuk kedua kalinya.
Untuk yang pertama aku terlahir menjadi seorang anak, dan kini aku menjadi seorang istri, dan sebentar lagi aku akan kembali hadir untuk yang ketiga kali, menjadi seorang ibu, betapa bahagianya aku, memiliki kamu dan sebentar lagi memiliki seorang buah hati yang lama sudah aku nantikan. Hari demi hari perlahan perutku membesar seperti bola dan bahkan lebih besar dari bola, setiap waktu sentuhan kasih dan belaian cintamu kurasakan.
Tinggal 10 hari lagi, kau dan aku akan menjadi cerminan bagi dia yang akan ku lahirkan. Kelak ia akan menjadi aku atau kamu, semuanya sama saja, kelak ia akan menyerupai siapa, semuanya tak ada beda, sebab kau, aku dan kita adalah sama.
“Terimakasih untuk kamu yang mau menempatkan aku di sisimu, terimakasih atas perjalan ini, aku bahagia telah mengenalmu”.
***
Saat aku terjaga, aku sudah berada diruang operasi, apa yang akan terjadi padaku? Dia yang tadinya menggenggam erat tanganku, kini memelukku seraya berkata, “ jangan takut, aku disini menemanimu, teruslah menyebut nama tuhanmu, “Allah, Allah” dan genggam tanganku sambil mengecup keningku”
“weeeeeek,,,,,,,,weeeeek”
***
“tok,,to,,tok” berulangkali ku dengar suara itu, yang tadinya ku dengar suara tagisan bayiku. “dek,,, dek,, dekk” lagi-lagi suara itu yang kudengar. Ada apa gerangan?
“Dek,,,,, dekk” bangunnnn uda subuh, sahut ibuku
 Ah sialan ternyata hanya mimpi, mana bayiku? Apa jenis kelaminnya? aku belum sempat melihatnya.


Wanita penunggu hari Rating: 4.5 Diposkan Oleh: melati

 

Top